Angklung
adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang
dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat.Alat musik ini
dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Angklung
di akui sebagai Intangible World Heritage pada tanggal 20 November 2010 pukul 16.00 dalam sidang UNESCO di Nairobi,
Kenya. Mempatenkan angklung sebagai ”real” Indonesia. Dan ini akan menjadi
bukti agar tidak diakui oleh negara tetangga kita Malaysia.
Sejak
kapan angklung muncul masih belum bisa diketahui secara pasti. Namun, ada
angklung tertua yang usianya sudah mencapai 400 tahun. Angklung tersebut
merupakan Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Di Serang,
angklung jenis ini dianggap sebagai alat musik sakral yang digunakan saat
mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah penyakit.
Angklung
memang dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun, di beberapa daerah di Indonesia
juga ditemukan alat musik tradisional tersebut. Di Bali, angklung digunakan
pada saat ritual Ngaben. Di Madura, angklung digunakan sebagai alat musik
pengiring arak-arakan. Sementara di Kalimantan Selatan angklung digunakan
sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah mencatat bahwa di Kalimantan
Barat juga terdapat angklung, tapi menurut beberapa tokoh kebudayaan, angklung
tersebut tidak ada lagi.
Pada
1938, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada suara diatonik.
Selain sebagai pengiring mantera, awalnya, angklung digunakan untuk
upacara-upacara tertentu, seperti upacara menanam padi. Namun, seiring dengan
berkembangnya alat musik ini, angklung digunakan dalam pertunjukan kesenian
tradisional yang sifatnya menghibur.
Pada
masa penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan
semangat nasionalisme penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah Belanda melarang
permainan angklung, kecuali jika dimainkan oleh anak-anak dan pengemis karena
dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun.Setelah mengalami pasang surut, Daeng
Soetigna berhasil menaikkan derajat alat musik angklung. Bahkan, angklung
diakui oleh seorang musikus besar asal Australia Igor Hmel Nitsky pada 1955.
Angklung dengan suara diatonis yang diciptakan oleh Daeng membuat angklung
turut diakui pemerintah sebagai alat pendidikan musik.
Sepeninggal
Daeng Soetigna, angklung dikembangkan lagi berdasarkan suara musik Sunda, yaitu
salendro, pelog, dan madenda. Orang berjasa yang mengembangkannya adalah Udjo
Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna ini
mengembangkan alat musik angklung pada 1966.Sebagai wujud mempertahankan
kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal Mang Udjo membangun pusat pembuatan
dan pengembangan angklung. Tempat tersebut diberi nama “Saung Angklung Mang
Udjo”. Lokasinya berada di Padasuka, Cicaheum, Bandung. Di tempat ini,
seringkali diadakan pertunjukan kesenian angklung. Pengunjung yang hadir dapat
ikut serta mencoba belajar memainkan alat musik tersebut. (gilang, rifan,
sarah)
0 komentar:
Posting Komentar